BEKASI – Ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap satu jenis pangan masih menjadi tantangan besar dalam upaya penganekaragaman konsumsi. Disparitas konsumsi antarjenis pangan tak hanya mempersempit pilihan makanan, tetapi juga berpotensi menyebabkan ketidakseimbangan gizi.
Sebagai langkah strategis untuk mengatasi hal ini, pemerintah melalui Badan Pangan Nasional (NFA) menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2024. Regulasi ini menekankan pentingnya peningkatan kualitas konsumsi pangan yang berbasis pada potensi sumber daya lokal.
“Melalui program-program seperti B2SA Goes to School, Rumah Pangan B2SA, dan Pengembangan Desa B2SA, kami mendorong masyarakat untuk mengolah dan memanfaatkan pangan lokal sesuai dengan potensi wilayah masing-masing,” ungkap Direktur Penganekaragaman Konsumsi Pangan NFA, Rinna Syawal, dalam Rapat Koordinasi Kedeputian Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan yang digelar pada 22 April 2025.
Lebih lanjut, Rinna menjelaskan bahwa pendekatan tahun ini tidak lagi semata berupa pemberian bantuan makanan sebagaimana dilakukan di masa lalu. Fokus utama kini adalah edukasi yang membangun kesadaran kolektif akan pentingnya mengonsumsi pangan lokal yang beragam, bergizi, seimbang, dan aman (B2SA).
“Selain edukasi, kami juga memfasilitasi alat-alat sederhana untuk pengolahan pangan lokal. Tujuannya tidak hanya untuk mempermudah produksi, tetapi juga untuk menciptakan nilai tambah ekonomi bagi masyarakat,” kata Rinna.
“Singkong, ubi, dan sagu adalah contoh bahan pangan lokal yang jika diolah secara kreatif, bisa menjadi sumber kesejahteraan baru.” tambahnya.
Senada dengan Rinna, Ahli Gizi Rita Ramayulis yang turut hadir dalam acara tersebut menyoroti masih perlunya peningkatan literasi pangan di masyarakat. “Ketergantungan tinggi pada nasi dan tepung terigu menunjukkan bahwa masyarakat belum terbuka terhadap pilihan pangan lokal yang lebih beragam dan bergizi tinggi,” ujarnya.
Berdasarkan Direktori Konsumsi Pangan Nasional tahun 2024, konsumsi beras masih mendominasi di angka 92 kg per kapita per tahun, sementara konsumsi pangan sumber karbohidrat lokal lainnya jauh di bawah angka konsumsi beras tersebut, seperti singkong 8,5 kg per kapita per tahun, kentang 2,5 kg per kapita per tahun, sagu 0,6 kg per kapita per tahun, dan ubi jalar 3,1 kg per kapita per tahun.
Secara terpisah Kepala Badan Pangan Nasional, Arief Prasetyo Adi, menegaskan bahwa diversifikasi pangan menjadi komponen penting dalam menjaga ketahanan pangan, "Jadi selain intensifikasi dan ekstensifikasi yang saat ini dilakukan, diversifikasi pangan juga menjadi unsur penting yang perlu terus kita dorong bersama dalam kerangka membangun ketahanan pangan yang kokoh." kata Arief.
“Kita tidak bisa terus bergantung pada satu komoditas saja. Indonesia sangat kaya akan sumber daya pangan lokal, dan ini harus dimanfaatkan secara optimal. Dengan memperkuat konsumsi pangan lokal, kita tidak hanya meningkatkan gizi masyarakat, tetapi juga mendukung ekonomi desa, memperkuat ketahanan pangan, dan mengurangi risiko krisis pangan di masa depan,” tambahnya.
Untuk itu, Arief menekankan pentingnya sinergi lintas sektor, dukungan data yang akurat, dan aksi nyata di lapangan, program-program berbasis potensi pangan lokal dapat menjadi kunci keberhasilan penganekaragaman konsumsi di Indonesia secara berkelanjutan.
—————————————————
*Siaran Pers*
*Badan Pangan Nasional/National Food Agency (NFA)*
142/R-NFA/IV/2025
23 April 2025
Informasi lebih lanjut dapat menghubungi:
komunikasi@badanpangan.go.id
Telp : 087783220455