(1) Ketersediaan informasi ketahanan pangan yang akurat, komprehensif, dan tertata dengan baik sangat penting untuk mendukung upaya pencegahan dan penanganan kerawanan pangan dan gizi, karena dapat memberikan arah dan rekomendasi kepada pembuat keputusan dalam penyusunan program, kebijakan, serta pelaksanaan intervensi di tingkat pusat dan daerah. Penyediaan informasi diamanahkan dalam UU No 18/ 2012 tentang Pangan dan PP No 17/2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi yang mengamanatkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya untuk membangun, menyusun, dan mengembangkan Sistem Informasi Pangan dan Gizi yang terintegrasi.
(2) Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (Food Security and Vulnerability Atlas– FSVA) merupakan peta tematik yang menggambarkan visualisasi geografis dari hasil analisa data indikator kerentanan terhadap kerawanan pangan. Informasi dalam FSVA menjelaskan lokasi wilayah rentan terhadap kerawanan pangan dan indikator utama daerah tersebut rentan terhadap kerawanan pangan.
(3) FSVA 2018 adalah pemutakhiran dari empat edisi sebelumnya. Pemutakhiran yang dilakukan meliputi metode analisis, indikator, dan data yang digunakan. Indikator yang digunakan dalam penyusunan FSVA merupakan turunan dari tiga aspek ketahanan pangan, yaitu ketersediaan, keterjangkauan dan pemanfaatan pangan.
Pemilihan indikator didasarkan pada:
(i) keterwakilan 3 pilar ketahanan pangan
(ii) tingkat sensitifitas dalam mengukur situasi ketahanan pangan dan gizi; dan
(iii) ketersediaan data tersedia secara rutin untuk periode tertentu yang mencakup seluruh wilayah kabupaten/kota. Sembilan indikator digunakan dalam penyusunan FSVA.
Indikator pada aspek ketersediaan pangan adalah rasio konsumsi normatif per kapita terhadap ketersediaan padi, jagung, ubi kayu, dan ubi jalar.
Indikator pada akses pangan adalah persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan, persentase rumah tangga dengan proporsi pengeluaran untuk pangan lebih dari 65 persen terhadap total pengeluaran, dan persentase rumah tangga tanpa akses listrik.
Indikator pada aspek pemanfaatan pangan adalah rata-rata lama sekolah perempuan diatas 15 tahun, persentase rumah tangga tanpa akses ke air bersih, rasio jumlah penduduk per tenaga kesehatan terhadap tingkat kepadatan penduduk, persentase balita dengan tinggi badan di bawah standar (stunting), dan angka harapan hidup pada saat lahir.
(4) Kabupaten/kota diklasifikasikan dalam 6 kelompok ketahanan pangan dan gizi berdasarkan pada tingkat keparahan dan penyebab dari situasi ketahanan pangan dan gizi.
a. Kabupaten/kota di Prioritas 1, 2 dan 3 merupakan wilayah rentan pangan dengan klasifikasi : Prioritas 1 tingkat rentan pangan tinggi, Prioritas 2 rentan pangan sedang, dan Prioritas 3 rentan pangan rendah.
b. Kabupaten/Kota Prioritas 4, 5, dan 6 merupakan wilayah tahan pangan dengan klasifikasi : Prioritas 4 tahan pangan rendah, Prioritas 5 tahan pangan sedang, sedangkan Prioritas 6 yaitu tahan pangan tinggi.
(5) Metode analisis yang digunakan dalam penyusunan FSVA adalah metode pembobotan dengan menggunakan expert judgement. FSVA 2018 mengakomodasi perkembangan wilayah kabupaten/kota hasil pemekaran wilayah. Wilayah yang dianalisis dalam FSVA 2018 sebanyak 514 kabupaten/kota, terdiri dari 416 kabupaten dan 98 kota. Analisis komposit dibedakan antara wilayah kabupaten dan perkotaan.
6) Hasil analisis FSVA tahun 2018 menunjukkan bahwa : kabupaten rentan pangan Prioritas 1-3 sebanyak 81 kabupaten dari 416 kabupaten (19%) yang terdiri dari 26 kabupaten (6%) Prioritas 1; 21 kabupaten (5%) Prioritas 2; dan 34 kabupaten (8%) Prioritas 3. Kabupaten Prioritas 1 tersebar di 17 kabupaten di Provinsi Papua, 6 Kabupaten di Provinsi Papua Barat, 2 kabupaten di Provinsi Maluku, dan 1 kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Karakteristik kabupaten rentan pangan ditandai dengan rasio konsumsi terhadap ketersediaan pangan tinggi, persentase balita stunting tinggi, serta angka kemiskinan yang tinggi.
7) Sementara itu, Kota Rentan Pangan Prioritas 1-3 sebanyak 7 Kota dari 98 kota di Indonesia (7,14%). Pada wilayah perkotaan, terdapat 2 kota (2%) Prioritas 1, yaitu Kota Subulussalam di Aceh dan Kota Tual di Maluku; 2 kota (2%) Prioritas 2, yaitu Kota Gunung Sitoli di Sumatera Utara dan Kota Pagar Alam di Sumatera Selatan; serta 3 kota (3%) Prioritas 3, yaitu Kota Tanjung Balai di Sumatera Utara, Lubuk Linggau di Sumatera Selatan, dan Tidore Kepuluan (Maluku Utara). Karakteristik kota rentan pangan ditandai dengan rumah tangga dengan pangsa pengeluaran pangan yang tinggi, akses air bersih yang rendah, dan balita stunting yang tinggi.
)8) Program pembangunan pertanian selama empat tahun telah berhasil meningkatkan status ketahanan pangan wilayah di 177 kabupaten :
(a) Kabupaten rentan pangan yang naik peringkat sebanyak 75 kabupaten (19%) dengan rincian : Prioritas 2 ke Prioritas 3 sebanyak 18 kabupaten, Prioritas 2 ke Prioritas 4 sebanyak 5 kabupaten, Prioritas 2 ke Prioritas 5 sebanyak 2 kabupaten. Kabupaten Prioritas 3 yang meningkat ke Prioritas 4 sebanyak 14 kabupaten, Prioritas 3 ke Prioritas 5 sebanyak 23 kabupaten, dan Prioritas 3 ke Prioritas 6 sebanyak 13 kabupaten.
(b) Kabupaten tahan pangan yang naik peringkat sebanyak 102 kabupaten (26%) dengan rincian: Prioritas 4 ke Prioritas 5 sebanyak 49 kabupaten, Prioritas 4 ke Prioritas 6 sebanyak 26 kabupaten, sedangkan Prioritas 5 ke Prioritas 6 sebanyak 27 kabupaten.
9) Fokus lokasi penanganan kerentanan pangan di wilayah kabupaten diprioritaskan pada :
(a) Kabupaten-kabupaten yang terletak di Kawasan Indonesia Timur yang memiliki daerah Prioritas 1-3 terbesar
(b) Kabupaten-kabupaten yang lokasinya jauh dari ibu kota provinsi/daerah perbatasan yang rata-rata memiliki tingkat ketahanan pangan lebih rendah dibandingkan kabupaten lain.
(c) Kabupaten-kabupaten di Kepulauan dengan tingkat kerentanan pangan tinggid.Kabupaten pemekaran dengan tingkat kerentanan pangan tinggi
10) Penanganan kerentanan pangan di wilayah perkotaan diprioritaskan pada :
(a) Kota-kota yang memiliki keterbatasan akses terhadap pangan (infrastruktur, stabilisasi pasokan, dan daya beli).
(b) Kota-kota yang memiliki keterbatasan pemanfaatan pangan (kualitas sumberdaya manusia dan sanitasi).
11) Program-program peningkatan ketahanan pangan dan menangani kerentanan pangan wilayah kabupaten diarahkan pada kegiatan:
(a) Peningkatan penyediaan pangan di daerah non sentra produksi dengan mengoptimalkan sumberdaya pangan lokal
(b) Penanganan stunting diantaranya melalui sosialisasi dan penyuluhan tentang gizi dan pola asuh anak; penyediaan fasilitas dan layanan air bersih
(c) Penanganan kemiskinan melalui penyediaan lapangan kerja, padat karya, redistribusi lahan; pembangunan infrastruktur dasar (jalan, listrik, rumah sakit), dan pemberian bantuan sosial; serta pembangunan usaha produktif/UMKM/padat karya untuk menggerakan ekonomi wilayah
(d) Peningkatan akses air bersih melalui penyediaan fasilitas dan layanan air bersih; sosialisasi dan penyuluhan
(e) Penurunan pangsa pengeluaran pangan melalui sosialisasi pola konsumsi pangan (B2SA) serta peningkatan kesempatan kerja
(f) Peningkatan pendapatan
(g) Peningkatan pendidikan perempuan
(h) Penyediaan tenaga kesehatan
12) Program-program penanganan kerentanan pangan di daerah perkotaan diarahkan pada kegiatan:
(a) Peningkatan kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat sehingga meningkatkan daya beli masyarakat
(b) Sosialisasi pola konsumsi pangan beragam, bergizi seimbang dan aman
(c) Peningkatan akses rumah tangga terhadap air bersih melalui penyediaan fasilitas dan layanan air bersih
(d) Peningkatan sanitasi lingkungan dan perilaku hidup bersih dan sehat melalui sosialisasi dan penyuluhan
(e) Penanganan balita stunting melalui intervensi program gizi baik spesifik maupun sensitif.