DENPASAR – Situasi ketahanan pangan dan gizi secara nasional memiliki tantangan yang harus diatasi secara kolaboratif. Pemerintah dalam hal ini Badan Pangan Nasional/National Food Agency (NFA) menaruh salah satu fokusnya pada transformasi perilaku masyarakat dengan terus menanamkan pemahaman untuk mengurangi pemborosan atau sisa pangan dan menggerakkan aksi penyelamatan pangan bersama para stakeholder.
Direktur Kewaspadaan Pangan dan Gizi NFA Nita Yulianis mengungkapkan kondisi food loss and waste secara global yang semakin menantang. Menurut The United Nations Environment Programme (UNEP) dalam 'The Food Waste Index Report 2024', ada perubahan indeks yang perlu menjadi perhatian para pegiat Susut dan Sisa Pangan (SSP).
"Secara global, faktanya ada perubahan indeks food waste menjadi 19 persen. Tentunya ini harus menjadi perhatian bersama dalam kaitannya komitmen kita bersama dalam mengatasi tantangan SSP. Terlebih Kepala NFA, Bapak Arief Prasetyo Adi selalu menggaungkan pentingnya kolaborasi dalam mengatasi berbagai tantangan pangan di Indonesia," katanya saat berbicara dalam gelar wicara bertajuk 'Sinergi untuk Memantapkan Ketahanan Pangan dan Gizi' yang dihelat Pusat Inovasi Kesehatan (PIKAT) di Denpasar, Bali pada Selasa (29/10/2024).
Lebih lanjut, data statistik UNEP menyebutkan ada sampai 13 persen pangan hilang secara global dalam rantai pasok setelah panen di pertanian dan sebelum tahap ritel. Sementara, pemborosan pangan yang terjadi di tingkat retail, layanan makanan, dan rumah tangga mencapai 19 persen.
"Lingkup nasional pun kita masih punya tantangan. PoU (Prevalence of Undernourishment) kita masih di 8,53 persen setara 23,5 juta jiwa, artinya masih cukup banyak penduduk Indonesia yang konsumsi energi atau kalorinya secara harian tidak cukup untuk bisa hidup sehat, aktif, dan produktif. Ini memang sangat berkaitan dengan perilaku mengkonsumsi makanan masyarakat yang juga masih menantang," tambah Nita.
Seperti diketahui, target PoU atau prevalensi ketidakcukupan konsumsi pangan di Indonesia sebesar 5 persen pada tahun 2024. Sempat terjadi peningkatan akibat COVID-19 sampai 10,21 persen di 2022, namun mulai menurun di 2023 menjadi 8,53 persen. Selanjutnya, untuk target prevalensi penduduk dengan kerawanan pangan sedang/berat (Prevalence of Food Insecurity Experienced Scale/FIES) adalah sebesar 4 persen. Tercatat di 2023 indeksnya telah berada di angka 4,5 persen dengan tren yang selalu menurun sejak 2017.
"Kalau food loss itu kan tercecer di sektor pertanian, itu cukup turun angkanya, karena sebagian besar dapat diatasi dengan mekanisasi dan faktanya 20 tahun terakhir memang turun untuk food loss. Cuma kalau food waste berhubungan dengan perilaku atau gaya hidup. Ini poin pentingnya. Sebenarnya perlu dipahami bahwa perilaku sehari-hari sangat berkontribusi terhadap potensi timbulan sampah makanan dan pemborosan makanan," tandasnya.
"Sekarang kita perlu rajin lihat data SIPSN dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), ternyata 40 persen dari sampah yang ada di landfill atau di tempat pembuangan akhir, itu merupakan sampah organik atau makanan. Jika kita menilik sampah plastik mencapai 18 persen dan kita sudah sangat komitmen untuk mengurangi sampah plastik. Nah, ketika kita mengetahui sampah makanan sampai 40 persen, rasanya upaya kita dalam mencegah pemborosan pangan seyogyanya perlu digenjot dua kali lipat lebih tinggi," imbuhnya.
Direktur Nita mencontohkan dalam pelaksanaan program GENIUS (Gerakan Edukasi dan Pemberian Pangan Bergizi untuk Siswa), NFA bersama AIPGI (Asosiasi Institusi Pendidikan Tinggi Gizi Indonesia) turut memberikan edukasi tematik tentang pentingnya 'Stop Boros Pangan' pada anak usia sekolah dasar. Menurutnya, dengan asupan pemahaman seperti itu dapat membentuk kognitif dan kebiasaan yang baik bagi anak-anak.
"Dari pelaksanaan program GENIUS, salah satunya adalah bagaimana anak-anak ini sekarang bisa menghargai makanan yang mereka makan. Mereka bisa menghabiskan makanan yang mereka makan. Dengan selipan edukasi stop boros pangan itu, mereka tidak tega dan akhirnya menghabiskan makanannya," terangnya.
"Selain itu, pemerintah daerah juga kita telah permudah prosesnya untuk lebih mendorong aksi penyelamatan pangan. Kita sudah koordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri terkait dengan penyediaan nomenklatur bagi daerah agar bisa menggunakan alokasi APBD-nya. Lalu dukungan secara regulasi, mudah-mudahan rancangan Peraturan Presiden untuk penyelamatan pangan bisa disepakati di tahun 2025 mendatang," pungkas Nita.
Kepala NFA Arief Prasetyo Adi pun mengamini bahwa peran pemerintah daerah sangat penting dalam akselerasi aksi penyelamatan pangan. Arief terus mendorong perluasan cakupan 'Gerakan Selamatkan Pangan' (GSP) yang telah diinisiasi NFA sejak 2022.
"Kita terus membangun kesadaran, termasuk di tingkat pemda. Semula uji coba GSP di Jabodetabek saja dan sampai hari ini telah menorehkan hingga 78 ton pangan yang diselamatkan. Kami yakin dengan 15 provinsi yang sudah berkomitmen melaksanakan GSP di tahun ini, capaian akan semakin melejit. Ini luar biasa," ungkap Arief.
Sementara dalam dialog hari ini turut pula diisi oleh Konsultan PIKAT Bali Yessi Crosita. Ia menjelaskan piloting penyelamatan pangan yang akan mulai dilaksanakan bersama Scholars of Sustenance (SOS). "Mulai minggu depan kita sudah mulai akan lakukan food rescue. Program ini kami definisikan sebagai donasi bahan pangan berlebih. Jadi bahan pangan yang surplus dari para partner kita kumpulkan, kemudian kita olah kembali di rescue kitchen menjadi menu bergizi," jelasnya.
"Jadi intinya kita berpikir bahwa ada kebutuhan gizi anak sekolah, ada surplus pangan, bagaimana kita mempergunakan surplus pangan ini untuk memenuhi kebutuhan gizi anak sekolah. Kami melakukan assessment, kami data untuk bertanya kepada anak-anak. Jadi kami dengan SOS mengembangkan 4 menu, kami tanya ke anak-anak, supaya program ini dapat diterima dengan baik," tambahnya.
———————————————————
*Siaran Pers*
*Badan Pangan Nasional/National Food Agency (NFA)*
231/R-NFA/X/2024
31 Oktober 2024
Informasi lebih lanjut dapat menghubungi:
komunikasi@badanpangan.go.id
Telp : 087783220455