Seiring dengan meningkatnya pembangunan pertanian dan ketahanan pangan di Indonesia, berbagai terobosan telah membawa dampak signifikan terhadap pemenuhan kebutuhan pangan dan kesejahteraan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah rumah tangga miskin pada Maret 2018 sebesar 15.81 juta jiwa. Angka ini menunjukkan telah terjadi penurunan sebesar 10.88 % jika dibandingkan periode yang sama pada Maret 2013 yang mencapai 17.74 juta jiwa,. Adanya penurunan jumlah KK miskin, menunjukan bahwa pembangunan yang dilaksanakan berdampak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat.
"Keluarga miskin sangat rentan terhadap kerawanan pangan, karena pengeluaran terbesar dalam rumah tangga adalah untuk mencukupi kebutuhan pangan. Karena itu mereka harus dibantu," ujar Kepala BKP Agung Hendriadi, menjelaskan diruang kerjanya, Jum'at (16/11).
Menurut Agung, berdasarkan Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (Food Security and Vulnerability Atlas/FSVA ) pada tahun 2018 terdapat 81 kabupaten rentan rawan pangan. Daerah rentan rawan pangan ini ditandai dengan tingginya rasio konsumsi normatif terhadap ketersediaan pangan, tingginya balita stunting dan tingginya persentase penduduk miskin.
Untuk menangani daerah rentan rawan pangan dan pengentasan kemiskinan, menurut Agung, pihaknya telah berkontribusi nyata melalui berbagai kegiatan pada daerah-daerah yang masuk dalam kategori rentan rawan pangan.
"Untuk menangani daerah rentan rawan pangan sekaligus pengentasan kemiskinan, kami melakukannya melalui kegiatan Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) dan Kawasan Mandiri Pangan (KMP)," tutur Agung.
Undang-Undang Pangan No.18 tahun 2012 mengamanatkan bahwa ketahanan pangan nasional dimulai dari ketahanan pangan tingkat rumah tangga. Oleh karena itu penting bagi suatu rumah tangga untuk dapat mengakses pangan dengan mudah dengan memanfaatkan sumberdaya atau aset yang mereka miliki, sehingga pangan dapat tersedia setiap saat untuk kebutuhan keluarga. Salah satu aset yang dimiliki oleh rumahtangga untuk mendukung penyediaan pangan bagi keluarga adalah lahan pekarangan rumah.
Tujuan KRPL menurut Agung untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga serta meningkatkan pendapatan. "Melalui kegiatan ini masyarakat melalui kelompok wanita diajak untuk memanfaatkan pekarangannya dengan melakukan kegiatan budidaya sumber karbohidrat, protein dan vitamin," jelas Agung. Selain dapat memenuhi kebutuhan pangannya, juga meningkatkan pendapatan yang secara tidak langsung juga akan memperbaiki kesejahteraannya," tambah Agung.
Menurut Agung, melalui KRPL para ibu rumah tangga yang masuk dalam kwt bisa mengurangi pengeluaran belanja bahan pangan antara 750 ribu hingga 1.5 juta per bulan.
Kegiatan KRPL ini juga merupakan bentuk intervensi sensitive untuk penurunan stunting yang kegiatannya berpotensi untuk dieskalasi. Sejak tahun 2015 sampai dengan tahun 2018 Badan Ketahanan Pangan telah melaksanakan kegiatan ini di 8.814 KRPL/kelompok wanita dan sudah menyentuh 264.420 rumah tangga. Jika dalam satu rumah tangga ada 4 jiwa maka kegiatan KRPL sudah menyentuh sekitar 1.057.680 jiwa atau 0,5 persen dari total penduduk Indonesia.
Sedangkan kegiatan KMP yang dilakukan sejak 2015 bertujuan mendorong ketersediaan pangan di pedesaan, sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat dalam melakukan usaha, penguatan kelembagaan ekonomi, dan integrasi dukungan lintas sektor.
Dijelaskan Agung, pada tahun 2015 – 2017 Kegiatan KMP dilaksanakan di 23 provinsi, 76 kabupaten, 97 kawasan/kecamatan, 408 desa, 428 kelompok.
"khusus untuk KMP tahun 2018 bertujuan untuk memberdayakan masyarakat miskin melalui padat karya serta penurunan stunting di wilayah rentan rawan pangan," lanjut Agung.
Melalui kegiatan KMP masyarakat telah merasakan manfaatnya dengan terjadinya peningkatan modal rata-rata 56% dari modal awal yang diberikan dalam bentuk bantuan pemerintah yang selanjutnya digunakan untuk perluasan usaha produktif.
Menurut Agung, KRPL dan KMP telah berkontribusi terhadap penurunan kerentanan pangan wilayah. Hal ini bisa dilihat dari perkembangan FSVA.
Saat ini kita sudah memiliki instrumen untuk memetakan daerah yang rentan terhadap kerawanan pangan yakni menggunakan Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (Food Security and Vulnerability Atlas / FSVA) yang datanya diperbaharui setiap periode tertentu. FSVA merupakan peta tematik yang menggambarkan visualisasi geografis dari hasil analisa data indikator yang komprehensif tentang kerentanan terhadap kerawanan pangan, sehingga dapat diketahui di mana daerah yang rentan terhadap kerawanan pangan serta mengapa daerah tersebut rentan terhadap kerawanan pangan.
FSVA disusun dengan menggunakan 9 (sembilan) indikator yang merupakan turunan dari 3 (tiga) aspek ketahanan pangan yaitu : faktor ketersediaan, faktor keterjangkauan dan faktor pemanfaatan. Di masing-masing wilayah yang terjadi kondisi rawan pangan disebabkan oleh faktor yang berbeda. Karena itu penanganan daerah rentan pangan disesuaikan dengan faktor penyebabnya.
"Berdasarkan Peta FSVA 2018, terjadi peningkatan status ketahanan pangan menjadi lebih tahan pangan di 177 kabupaten dari jika dibandingkan dengan FSVA 2015," kata Agung.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa kedua kegiatan yang dilakukan BKP menyentuh langsung masyarakat yang rentan rawan pangan dan miskin. Bahkan untuk KRPL, lokasi kegiatannya bersentuhan langsung pada daerah-daerah stunting.