JAKARTA — Badan Pangan Nasional/National Food Agency (NFA) mendorong pengembangan kurikulum Muatan Lokal (Mulok) yang mengintegrasikan pola konsumsi pangan Beragam, Bergizi Seimbang, dan Aman (B2SA) serta pemanfaatan pangan lokal sejak usia dini. Langkah ini menjadi bagian dari upaya membangun generasi sehat, cerdas, dan memiliki kebanggaan terhadap keragaman pangan lokal nusantara melalui jalur pendidikan.
Sebagai tindak lanjut, Direktorat Penganekaragaman Konsumsi Pangan NFA bersama International Council for Research in Agroforestry (ICRAF) dan Pusat Kurikulum dan Pembelajaran (Puskurjar) Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) menggelar diskusi daring pada Selasa (30/9). Forum ini membahas penyempurnaan Panduan Penyusunan Kurikulum Mulok yang akan menjadi acuan bagi pemerintah daerah dan satuan pendidikan dalam mengembangkan pembelajaran mengenai pangan B2SA dan pangan lokal, baik dari sisi substansi, metode pembelajaran, maupun relevansinya dengan kebutuhan peserta didik.
Direktur Penganekaragaman Konsumsi Pangan NFA, Rinna Syawal, menegaskan bahwa pendidikan merupakan pintu awal pembentukan pola konsumsi generasi muda. Menurutnya, sekolah merupakan ruang paling strategis untuk membangun kebiasaan positif, karena anak-anak berada pada fase pembelajaran dan penyerapan nilai-nilai dasar.
"Kurikulum muatan lokal adalah sarana strategis untuk menanamkan kesadaran sejak dini mengenai pentingnya pola konsumsi pangan B2SA. Melalui pendidikan, anak-anak dapat belajar bukan hanya manfaat gizi seimbang, tetapi juga menumbuhkan rasa bangga terhadap kekayaan pangan lokal yang merupakan bagian dari identitas bangsa. Dengan demikian, generasi muda tidak hanya memahami teori, tetapi juga membawa nilai itu dalam kehidupan sehari-hari,” ujar Rinna.
Rinna menambahkan, penyusunan panduan kurikulum ini perlu dilakukan secara kolaboratif agar substansinya lebih komprehensif dan relevan dengan kebutuhan daerah. Ia menekankan bahwa keterlibatan berbagai pihak sangat menentukan kualitas yang dihasilkan.
"Kami mendorong keterlibatan berbagai pemangku kepentingan untuk memperkuat substansi, termasuk mengaitkan aspek budaya dengan pangan lokal serta menggali potensi pangan akuatik yang melimpah di Indonesia. Dengan adanya masukan lintas sektor, kurikulum yang disusun tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga menghadirkan praktik nyata seperti kegiatan pengenalan pangan lokal di sekolah. Semua itu akan membuat peserta didik lebih dekat dengan pangan lokal dan menumbuhkan rasa memiliki,” jelasnya.
Upaya ini sejalan dengan implementasi Peraturan Presiden (Perpres) No. 81 Tahun 2024 tentang Percepatan Penganekaragaman Pangan Berbasis Potensi Sumber Daya Lokal. Regulasi ini menekankan pentingnya pemanfaatan sumber daya pangan lokal sebagai salah satu langkah strategis memperkuat ketahanan pangan nasional. Melalui jalur pendidikan, NFA bersama mitra strategis berkomitmen memperkuat pengetahuan, kesadaran, dan sikap masyarakat mengenai konsumsi pangan B2SA sejak usia dini, sehingga terbangun perilaku konsumsi yang sehat, berkelanjutan, dan mandiri.
Dalam diskusi tersebut, sejumlah penyempurnaan substansi disepakati, antara lain penambahan data konsumsi dan potensi pangan lokal di berbagai daerah, penguatan peran pangan lokal dalam mendukung ketahanan dan kemandirian pangan, serta pembaruan istilah dan alur penyusunan kurikulum agar selaras dengan kebijakan Kemendikdasmen. Hal ini diharapkan menjadikan panduan lebih mudah dipahami oleh guru, praktis diterapkan di sekolah, sekaligus selaras dengan konteks lokal di setiap wilayah.
Perwakilan Puskurjar Kemendikdasmen, Rizki Maisura, mengapresiasi langkah ini dan menilai integrasi pangan dalam kurikulum akan memperkaya proses belajar mengajar. Menurutnya, tema pangan bukan sekadar materi tambahan, tetapi bagian penting dari pembelajaran yang dapat membentuk pola pikir holistik peserta didik.
"Integrasi isu pangan B2SA dan pangan lokal dalam muatan lokal memberikan nilai tambah bagi peserta didik. Mereka tidak hanya memahami gizi, tetapi juga mempelajari nilai budaya, keberlanjutan, serta potensi daerah yang relevan dengan kehidupan sehari-hari. Dengan begitu, peserta didik dapat menghubungkan apa yang dipelajari di sekolah dengan realitas kehidupan di masyarakat, sehingga pembelajaran terasa lebih bermakna,” tutur Rizki.
Sementara itu, Andree Ekadinata, ICRAF Indonesia Country Program Director, menekankan pentingnya sinergi dalam penyusunan kurikulum ini. Ia menilai bahwa hanya dengan keterlibatan semua pihak, panduan kurikulum dapat benar-benar mencerminkan kondisi nyata di lapangan.
"Keterlibatan berbagai pihak sangat penting untuk saling melengkapi keterbatasan. Dengan adanya kontribusi pengetahuan dan pengalaman dari beragam pemangku kepentingan, panduan yang dihasilkan akan lebih aplikatif, relevan, serta dapat dijadikan rujukan oleh daerah dalam mengembangkan muatan lokal sesuai dengan potensi pangan dan kearifan lokal masing-masing. Kolaborasi ini juga memastikan panduan tetap fleksibel, adaptif, dan bisa digunakan lintas jenjang pendidikan,” ujarnya.
Sebagai penutup, Rinna menegaskan kembali bahwa penguatan kurikulum Mulok Pangan B2SA merupakan investasi jangka panjang yang memberikan dampak luas bagi pembangunan bangsa.
"Dengan menanamkan kesadaran konsumsi pangan B2SA dan kecintaan pada pangan lokal sejak usia dini, kita sedang membangun pondasi bagi generasi Indonesia yang lebih sehat, tangguh, serta mandiri dalam menjaga ketahanan pangan nasional. Inilah langkah nyata NFA bersama para mitra strategis untuk memastikan pangan lokal tidak hanya menjadi warisan budaya, tetapi juga menjadi pilar utama kemandirian bangsa di masa depan,” pungkas Rinna.