Sesuai amanat Undang Undang Nomor 18 Tahun 2012, Sistem informasi pangan dan gizi yang terintegrasi mulai dari pemerintah pusat dan daerah merupakan hal yang sangat penting untuk perencanaan dan evaluasi suatu program ketahanan pangan. Salah satu sistem informasi pangan dan gizi ini adalah Sistem Peringatan Dini Kerawanan Pangan dan Gizi (SKPG) berdasarkan Peraturan Badan Pangan Nasional (Perbadan) Nomor 16 Tahun 2022.
Hal tersebut diungkapkan oleh Direktur Kewaspadaan Pangan dan Gizi NFA Nita Yulianis pada pertemuan "Penguatan Kapasitas dalam Analisis Sistem Peringatan Dini Kerawanan Pangan dan Gizi Tahun 2024" di Bandung, Selasa (30/4/2024).
“Sebagaimana dalam Perbadan 16 tahun 2022 menerangkan bahwa pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota berkewajiban membangun, menyusun, dan mengembangkan sistem informasi pangan yang terintegrasi dimana salah satunya digunakan untuk sistem peringatan dini kerawanan pangan dan gizi,” papar Nita.
Ia turut mendorong seluruh provinsi untuk dapat melakukan penyusunan SKPG. “Kami terus mendorong agar seluruh provinsi dan 514 kabupaten/kota dapat menyelenggarakan penyusunan SKPG sebagai early warning,” ungkap Nita.
Terkait analisis pencegahan dan penanganan kerawanan pangan dan gizi, Nita menjelaskan bahwa SKPG dan Peta Kerentanan dan Kerawanan Pangan/Food Security and Vulnerability Atlas(FSVA) merupakan alat analisa yang tidak bisa dipisahkan.
“FSVA disusun pada tingkat wilayah dengan menggunakan indikator yang sifatnya dinamis dalam jangka waktu tahunan yang outputnya berupa gambaran wilayah kronis. Untuk memperkuat analisis ini, diperlukan SKPG untuk mengantisipasi kejadian kerawanan pangan secara berjenjang dan dilakukan secara periodik (bulanan). Ini terus menerus karena sifatnya lebih dinamis dan dapat digunakan untuk prediksi apa yang akan terjadi dalam waktu dekat,” ungkapnya.
Pada kesempatan tersebut, Direktur Nita juga menggambarkan bahwa kerawanan pangan dan kemiskinan merupakan dua hal yang berkaitan erat, sehingga upaya dalam pengentasan kemiskinan akan berpengaruh nyata dalam mengurangi masyarakat rawan pangan.
Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Kepala NFA beberapa waktu lalu saat peluncuran FSVA Tahun 2023 di Depok pada Februari 2024. Kepala NFA Arief Prasetyo Adi menyatakan bahwa telah terjadi penurunan daerah rentan rawan pangan.
“Ada 68 kabupaten/kota atau sekitar 13 persen daerah teridentifikasi sebagai daerah rentan rawan pangan prioritas 1-3, jumlahnya menyusut sebanyak 6 kabupaten/kota jika dibandingkan dengan hasil FSVA tahun 2022 yang jumlahnya 74 kabupaten/kota atau 14 persen dari total daerah Indonesia. Hal ini semakin mendekatkan kita pada capaian RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2024 sebagaimana telah ditargetkan pemerintah sebesar 12 persen atau sekitar 61 kabupaten/kota rentan rawan pangan,” terang Arief.
Sementara itu, Guru Besar Institut Pertanian Bogor, Drajat Martianto yang hadir secara daring sebagai narasumber menjelaskan manfaat SKPG sebagai instrumen peringatan dini. “SKPG merupakan sebuah instrumen untuk meningkatkan kewaspadaan pangan dan gizi, bertujuan sebagai alat deteksi dini untuk mewujudkan ketahanan pangan. Jadi semua daerah memerlukannya bukan hanya daerah yang rawan pangan saja,” jelas Drajat.
Lebih lanjut Drajat menyampaikan bahwa melakukan analisis bukan hanya sekedar untuk membuat laporan, namun merupakan rekomendasi untuk mengantisipasi hal-hal buruk yang akan terjadi ke depan. SKPG harusnya menjadi timely warning and intervention system (TWIS) agar dapat menjadi peringatan yang bersifat tepat waktu.
Hadir pada pertemuan ini kepala dinas dan/atau pejabat teknis yang menangani SKPG dari 38 provinsi dan 50 Kabupaten/Kota