Setiap panen raya padi, dibeberapa sentra produksi seringkali para petani menjerit karena harga gabah anjlok, jauh di bawah Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Walaupun Perum BULOG sudah ditugaskan untuk membeli beras dengan harga sesuai HPP, namun pada periode panen raya tersebut, apalagi bila diperparah dengan musim hujan yang tinggi, jeritan tersebut akan kerap terdengar dan ramai diberitakan media massa, karena BULOG tidak mampu menangani seluruh wilayah yang sedang panen secara serentak.
Kementerian Pertanian memandang ini hal sebagai suatu permasalahan serius yang harus ditangani dengan suatu upaya terobosan, karena persoalan ini mempunyai multi –dampak, yaitu pendapatan usaha tani anjlok, insentif berusaha tani padi musim berikutnya menurun, dan bila persoalan ini meluas maka akan menambah jumlah rumah tangga miskin dan mengganggu upaya pencapaian ketahanan pangan.
Untuk mengatasi persoalan ini, Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian mendisain kegiatan Penguatan Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat atau disebut LDPM. Disain utama ditujukan untuk menghadirkan lembaga ekonomi petani yang mampu berperan sebagai pembeli gabah minimal pada tingkat HPP dan dapat mengelola gabah tersebut, yaitu menyimpan dengan baik, mengolah menjadi beras dan memasarkan pada saat harga cukup tinggi sehingga dapat memperoleh keuntungan yang optimal. Selain itu, untuk tujuan ketahanan pangan, lembaga ini harus mampu mengelola cadangan pangan secara berkelanjutan, yaitu menyalurkan beras bagi anggota yang memerlukan saat paceklik dan menerima pengembalian plus jasa pengelolaannya saat panen raya.
Untuk melaksanakan kegiatan ini lembaga yang cocok adalah Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan). Agar Gapoktan ini dapat langsung berkiprah dan berkinerja baik, prasyarat utama adalah Gapoktan harus telah eksis di wilayah kinerjanya, bukan bentukan baru.
Untuk itu, Kriteria Gapoktan calon peserta Penguatan LDPM adalah memiliki organisasi kepengurusan aktif, memiliki unit usaha distribusi, pemasaran atau pengolahan (pengeringan, penggilingan) yang masih berjalan serta dikelola Kelompok Tani (Poktan), dan mempunyai sumberdaya manusia yang secara potensial mampu menjalankan usaha ini secara bisnis. Selain itu, syarat lainnya adalah memiliki gudang atau lahan sendiri, yang kemudian dapat direnovasi atau dibangun gudang baru dengan kapasitas 30-40 ton gabah.
Disain komponen utama Penguatan LDPM diarahkan agar Gapoktan peserta mampu mengatasi tiga permasalahan, yaitu : Pertama rendahnya posisi tawar petani pada saat panen raya. Kedua, terbatasnya modal Gapoktan untuk melaksanakan tugas tersebut. Ketiga, terbatasnya akses petani kecil atas pangan pada saat paceklik. Komponen utama tersebut adalah penguatan modal usaha Gapoktan dan pemberdayaan kinerja Gapoktan melalui pendampingan oleh tenaga penyuluh atau tenaga terampil lainnya.
Modal usaha diberikan kepada Gapoktan berupa dana bantuan sosial (bansos). Sumber pendanaan bansos ini dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang disalurkan kepada Gapoktan melalui dana dekonsentrasi pada Badan Ketahanan Pangan Provinsi. Bansos diberikan dalam dua tahap, yaitu tahap pertama sebesar 150 juta rupiah untuk pembangunan atau renovasi gudang (biaya maksimal 50 juta rupiah) dan pembelian gabah untuk usaha perdagangan pangan dan cadangan pangan. Apabila kinerja tahun pertama dinilai baik, bansos tahap kedua disalurkan lagi senilai 75 juta rupiah untuk usaha pembelian gabah saja.
Proses Penguatan LDPM ini didisain dalam tiga tahap selama tiga tahun, yaitu Tahap Penumbuhan, Pengembangan dan Kemandirian. Gapoktan yang berkinerja baik dalam tahap penumbuhan, pada tahun kedua naik ke tahap pengembangan. Apabila ada Gapoktan yang pada tahap penumbuhan tahun pertama belum mencapai kinerja sesuai dengan yang ditetapkan, masih ada kesempatan bagi lembaga ini untuk meningkatkan kinerjanya dalam satu tahun lagi, sampai dinyatakan memenuhi syarat masuk ke tahap pengembangan.
Kriteria Tahap Pengembangan adalah gudang sudah tersedia atau terbangun; pembelian gabah utuk kegiatan perdagangan minimal telah dua kali putaran dan membukukan keuntungan; sudah melakukan pengelolaan cadangan pangan; pencatatan atau pembukukuan pengelolaan dana bansos, pembelian dan penjualan gabah dan pengelolaan cadangan pangan sudah dilaksanakan dengan rapi.
Tahap selanjutnya adalah Tahap Kemandirian, kondisi ini dicirikan dengan modal usaha yang sudah bertambah dari keuntungan usahanya, pelayanan pengelolaan cadangan pangan bagi anggota sudah lebih teratur dan harga beli gabah saat panen raya bagi anggota dan wilayah disekitarnya semakin stabil berada atau di atas HPP.
Setelah selesai melewati tiga tahap, pemberdayaan dengan baik, secara fungsional kegiatan Penguatan LDPM oleh pemerintah pusat sudah selesai. Untuk keberlanjutan pembinaan Gapoktan ini, diharapkan Pemerintah Daerah (Pemda) dapat mengambil peran aktif, termasuk mereplikasi model Penguatan LDPM ini dengan anggaran dari APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah).
Melalui kegiatan Penguatan LDPM ini, Pemerintah telah menjalankan sebagian amanat Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, (yang sebelumnya juga tercantum dalam UU Nomor 7 Tahun 1996 dan UU tentang Pangan), khususnya terkait dengan pasal-pasal yang mengatur perlindungan petani, pengelolaan stabilisasi pasokan dan harga pangan pokok, pemberdayaan petani dan kelompok tani dan pengembangan cadangan pangan masyarakat.
Implementasi dan Kinerja
Kegiatan Penguatan LDPM dilaksanakan mulai tahun 2009. Sampai tahun 2013 jumlah Gapoktan yang telah diberdayakan sebanyak 1.340 unit di 28 provinsi. Setelah melalui tiga tahun pemberdayaan, dari 546 Gapoktan Penguatan LDPM tahun 2009 (tahun pertama) sebanyak 512 unit (94%) berhasil mencapai tahap kemandirian di tahun 2012. Untuk 204 Gapoktan yang memulai pemberdayaan tahun 2010, yang berhasil mencapai kemandirian tiga tahun kemudian (2013) sebanyak 189 (92%). Peserta yang memulai pemberdayaan tahun 2011,2012, dan 2013 masing-masing sebanyak 235, 281, dan 75 unit; yang pada saat ini masih melalui berbagai tahapan pemberdayaan. Jumlah Gapoktan peserta setiap tahun bergantung pada alokasi anggaran pada BKP, bukan berdasarkan kinerja tahun sebelumnya.
Dari kajian internal diketahui bahwa dampak positif Penguatan LDPM telah dirasakan oleh anggota Gapoktan dan masyarakat sekitarnya. Para petani di wilayah kerja Gapoktan dan sekirarnya memperoleh kepastian harga jual gabah pada HPP atau sesuai harga pasar. Dana Bansos dimanfaatkan secara intensif antara 2 sampai 5 kali digunakan untuk membeli gabah dengan cakupan wilayah pembelian yang lebih luas. Bagi anggota Gapoktan, pada saat paceklik ada tempat untuk meminjam bahan pangan.
Dari sekian banyak Gapoktan yang berhasil sampai Tahap Kemandirian, salahsatu teladan adalah Gapoktan Sidomulyo di Kabupaten Sleman, Provinsi DI Yogyakarta. Gapoktan Penguatan LDPM ini telah memperluas pembelian gabah dengan harga sesuai atau di atas HPP ke beberapa Gapoktan sekitarnya untuk memenuhi omzet perdagangan beras sekitar 150 ton per bulan. Gapoktan ini antara lain secara rutin memasok beras dengan kualitas tertentu kepada salahsatu waralaba restoran cepat saji yang berpusat di Jakarta.
Teladan lainnya adalah Gapoktan Harapan Tani di Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat, peserta pemberdayaan mulai tahun 2009. Gapoktan ini menjadi pemasok beras ke supermarket dan pasar beras di provinsinya dan Provinsi Riau. Kemampuan memasok beras ini dipenuhi dengan pembelian beras minimal pada HPP kepada petani secara meluas melebihi wilayah kerja Gapoktannya.
Peningkatan kemampuan Gapoktan Penguatan LDPM teladan terbangun dengan baik, karena adanya sinergi dengan program pemberdayaan lain dari pemerintah pusat dan Pemda Provinsi ataupun kabupaten, sehingga sarana yang diperlukan seperti lantai jemur, penggilingaan, alat pengolahan hasil dan pemasaran dapat dilengkapi atau disinergikan pemanfaatannya oleh Gapoktan tersebut.
Satu hal lagi, disetiap Gapoktan LDPM yang berhasil, selalu ditemukan adanya seseorang di antara pengurus Gapoktan ataupun pendamping yang mempunyai kemampuan lebih dan memiliki motivasi tinggi bagi kemajuan Gapoktannya. Untuk orang berdedikasi seperti ini, sebutan yang diberikan kepadanya adalah “local champion”. Dia adalah elemen kunci sebagai motor penggerak keberhasilan proses pemberdayaan masyarakat.
Achmad Suryana
Kepala Badan Ketahanan Pangan- Kementerian Pertanian
Sinar Tani, Edisi 21-27 Agustus 2013